Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘belajar menulis untuk anak’

Oleh: Anisatul Illiyin

Setiap orang mempunyai potensi dan bakat alam yang dimilikinya sejak lahir. Tuhan memberikan berbagai karunia yang sangat besar pada setiap manusia. Perbedaan satu orang dengan orang lainnya adalah bagaimana memaksimalkan potensi yang dimilikinya sehingga mampu menghasilkan berbagai karya produktivitas.

Setiap orang mempunyai keunikan tertentu sebagai hasil dari interaksi dan perjumpaannya dengan berbagai kalangan sosial, atau hasil dari proses pendidikan baik formal maupun non formal. Bakat dan potensi yang dimilikinya terus berkembang seiring dengan perkembangan kehidupannya.

Orang yang mempunyai potensi menulis akan jauh lebih bermanfaat jika ia pergunakan potensi itu untuk menuangkan berbagai pandangannya melalui artikel, makalah, dan berbagai tulisan lain. Akan lebih bermanfaat jika tulisannya bisa dimuat di berbagai koran, majalah, penerbitan sebuah buku. Atau minimal, di share-kan di facebook ini sehingga mempunyai faedah daripada disimpan di “peti” buku diary. Disitulah sebenarnya, ia bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya secara produktif.

Jika sekarang ini, selama 24 jam sehari seseorang mampu mengarahkan potensi hidupnya ke arah yang lebih baik dan positif, seiring berjalannya waktu ia akan memanen apa yang ia lakukan. Begitu juga halnya jika manusia mengarahkan potensi hidupnya kepada hal-hal negatif, di masa depan ia akan mendapatkan apa yang ia lakukan sekarang.

So, disitulah manusia dituntut untuk menggunakan akal dan pikiran sehatnya dengan baik; jangan sampai potensi Tuhan yang berkelimpahan di dunia ini tidak bisa dimaksimalkan. Bagaimanapun, jika manusia mengarahkan potensinya kepada hal-hal negatif, alih-alih mendapatkan kebahagiaan, di dunia ini ia akan mendapatkan kesusahan; begitu juga nanti pada kehidupan ba’dal maut di akhirat kelak.

Saya selalu ingat pesan suami tercinta;

Faidza faroghta fanshob…

Wa ilaa robbika farghob…

Jika kau dalam keadaan senggang, maka bergeraklah!…

Dan kepada Tuhanmu-lah, engkau berserah diri dan berharap…

Read Full Post »

Oleh Afiani Intan Rejeki Gobel

Kalau kita mau ngaku sibuk. Semua orang bisa aja ngaku sibuk. Pengangguran pun berhak bilang, kalau dia sedang sibuk. “Sibuk tidur, sibuk nongkrong, sibuk ngobrol”. Toh sibuk juga namanya. Hehee..

 

Satu-satunya yang membuat saya bisa tidak menulis, ya ‘si sibuk’ itu. Kalau saya bos, paling juga sibuk mikirin gaji, toh masih bisa menemukan laptop atau ada saja sempatnya untuk menulis. Kalau saya seorang pedagang atau pengusaha, mungkin saja saya akan punya banyak sekali kesempatan untuk menulis. Kenyataannya, saya memang bukan keduanya. Saya seorang guru. Yang katanya jam kerja seorang guru adalah 24 jam. Seperti hal-nya seorang ibu yang tiada lelah dengan semua agenda padatnya.

 

Pagi saya mesti mengajar, hingga jam 12. Yang saya lakukan ya MENULIS. Menulis perkembangan anak didik saya selama sedang bermain, makan, berbicara dengan teman-temannya yang lain. Banyak sekali yang bisa saya tulis.

 

Berakhir jam 12. Saya kembali MENULIS. Saya coba menceritakan pengalaman setiap hari di kelas saya. Evaluasi, mencatat hal-hal penting yang mungkin saja tadinya terlewat untuk ditulis. Ini menjadi sebuah asset sejarah saya yang paling saya sukai. Di mana bisa menemukan momen-momen mengembangnya sayap-sayap kecerdasan teman-teman kecil saya di sekolah. Yang sebagian besar di antara tulisan-tulisan itu memang tidak di publikasikan, sebelum di akhir tahun nanti akan dipilah untuk menjadi bagian dari buku tahunan yang akan dibagikan kepada teman-teman kecil yang akan melanjutkan ke SD nantinya. Isi buku itu, ya tulisan-tulisan tentang ‘keistimewaan’ dan momen-momen indah  selama di sekolah, foto diri, foto kegiatan dan lain-lain.

 

Setelah usai dengan aktifitas ishoma, saya mesti memberikan les.  Sejak saya kuliah, buaaaanyyyaaaaakk hal yang perlu dibiayai. Pun sudah nambahin ‘kesibukan’ cari duit di sana-sini, masih juga mamak dan bapak sibuk nambalin yang kurang-kurang. Usai les itulah, saya akan kembali MENULIS. Menulis tugas-tugas kuliah. Sekarang sudah sampai ke tugas akhir. Menyusun BAB IV dan BAB V yang jelas-jelas masih berupa garis besarnya. Belum di teliti bener-bener, karena agenda-agenda di sekolah yang nambahin padatnya kesibukan.

 

Lalu, kuliahlah saya. Mencatat yang terdengar dan terlihat. Entah melihat dan mendengar dosen atau hanya ngobrol dengan teman dan menikmati jam-jam kosong. Pulang ke rumah, saya MENULIS-kan apa yang tadi saya alami di kampus.

 

Kalau saya lagi ga kuliah, seperti sebulan belakangan, saya langsung melanjutkan ke MENULIS yang berikutnya. MENULIS apa yang besok bisa saya lakukan di kelas. Hal baru apa yang dapat saya hadirkan ke dalam pembelajaran. Gimana caranya supaya belajar bisa jadi menyenangkan dan mengasikkan. Sesekali saya bisa MENULIS lagu ketika memasuki ‘tema pembelajaran’ tertentu. Alhamdulillaah, di waktu-waktu seperti ini, saya bisa mendapat banyak ‘ilham’ bagaimana menyajikan ‘belajar yang asik’ buat teman-teman kecil saya. Tulisan-tulisan ini sedang dicicil untuk diposting di web pribadi saya dengan label “Kelas Inspirasi”. Kenapa dicicil, bukannya dicopas langsung? *belum sempat diedit* 😀

 

Saat sang kantuk mulai menyerang.. Saya akan mulai MENULIS lagi. Puisi adalah produk kantuk yang paling banyak. ^____^ Kemudian sebagian lainnya adalah muhasabah.. menghitung diri.

 

Ditulis semua?? Ya iya laaah. 🙂

 

Di sela-sela aktifitas di atas. Sewaktu saya, benar-benar sibuk di dunia nyata. Saya akan MENULIS status. Hehe.  Jika saya sedikit luang di dunia nyata. Maka saya akan MENULIS komentar di status dan catatan teman-teman saya atau sesekali menyambangi GRUP-GRUP saya yang mulai ‘menyepi’. 🙂

 

Tapi, saya MENULIS toh..? 😀

 

Saya memang Ratunya alasan kok. Tapi, saya jelas ga bisa ninggalin MENULIS begitu saja. Hidup saya saat ini adalah MENULIS. Cita-cita saya saat ini adalah MENULIS. Tujuan saya saat ini adalah MENULIS. Dengan atau tanpa PR dari kepsek PNBB (Proyek Nulis Buku Bareng) pun, saya akan terus dan tetap menulis. Sepanjang apapun nantinya alasan yang saya akan ucapkan, saya tetap MENULIS.

 

Saya SIBUK, tapi saya MENULIS.

 

Ini tulisan saya.. mana tulisan kamu..? 😛

 

*Memanfaatkan libur sehari dengan menumpahkan isi hari* ^_______^

Read Full Post »

Oleh Hazil Aulia di PNBB – Proyek Nulis Buku Bareng

 

 

Seperti juga gaya yang bisa mati sehingga dikatakan mati gaya, nafsu menulis pun kadang juga bisa menurun kalau tidak bisa dikatakan mati. Pada saat-saat seperti ini, jamaknya orang merasa bete stadium akut. Sebenarnya keinginan menulis itu masih ada, tetapi seolah ia terselinap diantara berbagai masalah yang muncul dan menggelayuti tangan, pikiran dan perasaan.

 

Kondisi semacam ini sungguh membahayakan bila “diternakkan”, apalagi bila sudah sempat beranak-pinak, wah.. karam dunia.. Namun demikian, kondisi ini sebenarnya sangat-sangat lazim ditemukan dan saya amat yakin sekali bahkan orang yang berprofesi sebagai penulis pun mengalaminya. Lalu apa bedanya dengan kita, mereka yang sangat fasih dalam menulis dengan kita yang masih pembelajar ini? Bedanya terletak pada cara memperlakukan nafsu atau libido menulis yang kendur ini. Kita yang tidak tahu cara memperlakukan si libido menulis yang kendur ini cenderung “mengabaikan” hak-hak si libido tadi, sedangkan mereka yang fasih menulis, tidak berkehendak untuk mengabaikannya, namun bahkan “mengelus-elusnya” agar si libido menulis tadi kembali memuncak.

 

Jadi menurut saya, bila kita merasa bahwa libido menulisnya kendur, coba perhatikan, coba rasakan apakah kita sudah memberikan hak-hak si libido agar ia tetap bisa “meraung-raung” untuk disalurkan dengan menulis atau belum. Kita sudah menyadari bahwa ide tulisan bisa diserok dari mana saja, kita pun mempunyai piranti yang bisa membantu untuk mengingat kejadian, kamera, telepon seluler, buku catatan bahkan sebenarnya menyimpan sementara “bakal” tulisan tersebut di otak untuk kemudian dituliskan kembali. Nah, ajaklah si libido bertualang sejenak, segarkan diri dengan membaca, mengunjungi perpustakaan atau tempat-tempat lain yang bisa menggelorakan kembali si libido menulis tersebut.

 

Saya pribadi, terkadang cukup dengan menjelajahi komentar teman-teman di beranda Facebook atau di grup PNBB ini saja sudah bisa meraungkan kembali si libido menulis agar menyalurkan hasratnya. Pada kesempatan lain, saya juga mengunjungi situs-situs di internet untuk mencari buku-buku elektronik dan menemukan yang bahkan baru akan terbit beberapa bulan ke depan. Atau misalnya meluangkan waktu untuk bercocok tanam sejenak, menyiangi kebun, memasak, mengajak anak bermain dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas tersebut rasanya sudah cukup mampu untuk menggetarkan kembali libido menulis agar ia meraung-raung minta segera disalurkan. Buatlah agar ia membuat kita mati penapsaran. Penapsaran? Ya, penapsaran adalah bahasa slang saya untuk mengibaratkan “saking penasarannya”, penapsaran untuk segera menulis kembali.

 

Lah, daripada kita mati penasaran meratapi libido yang kendur tadi, bukankah lebih baik kita mati penapsaran karena si libido menulis tak hentinya mengajak menggoyangkan jemari menyalurkan hasratnya?

 

Sekarang, ayo.. tunjuk jari, siapa yang libido menulisnya masih kendur?

 

Yogyakarta, 8 Desember 2011

Read Full Post »

Oleh Moenir Al-Banny di PNBB – Proyek Nulis Buku Bareng

 

Apakah menulis memerlukan tips? Sebenarnya menulis itu sederhana kalau kita MAU melakukannya. ya cukup satu kuncinya MAU menulis.Saat kita menulis alam bawah sadar kita akan memutuskan sendiri mana kata-kata yang akan kita jadikankan kalimat untuk menyusun paragraph daripada tulisan kita (gaya bahasa tahun 80-an, hehe).

 

Mengenai alam bawah sadar ya biar di bahas nanti lah sama yang lebih ahli. yang saya coba bahas adalah MAU menulis. BAgaimana agar kita mau menulis?

Saat malam bengong gak ada yang ngajak sms-an atau telpon-telpon-an, daripada pikiran lari-lari kesana kemari, coba ambil pulpen dan kertas kosong. coretkan sesuatu di sana, mungkin kata-kata indah yang kelak akan kamu bagikan dengan pasangan hidupmu, atau ungkapan-ungkapan kemarahan pada atasan kerja (hehe gak menghasut lho ya?), atau juga hal menarik yang terjadi hari ini. Ya hal sederhana di atas bisa menjadi tulisan selama kita MAU untuk menulis.

 

Menulis…

MAU!

 

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada operator yang menggunakan kata-kata promosi di atas.

Read Full Post »

 

 

Setiap kami akan melaksanakan outbound di suatu tempat, pertanyaan khas yang muncul dari tim selalu diawali dengan dimana tempatnya. Pertanyaan berikutnya biasanya seputar siapa pesertanya, target learningnya apa atau apakah tujuan outboundnya sekedar refreshment saja. Mengetahui dimana lokasi outbound yang akan kami pakai sangatlah penting sebagai landasan perencanaan, berdasarkan lokasi ini kami menentukan permainan apa yang mungkin untuk dilaksanakan, tentu akhirnya berdampak pada perlengkapan apa saja yang perlu kami persiapkan. Lokasi tujuan juga menentukan seberapa besar effort yang harus kami lakukan sehingga sejak awal kami telah bisa mengantisipasinya.

 

Beberapa lokasi outbound terkategorikan sebagai zona hijau, dimana lokasi ini mudah dijangkau, telah tersedia penginapan bahkan seringkali instalasi outbondnya pun sudah tinggal pakai saja. Masuk dalam kategori zona hijau ini diantaranya Hotel, resort, villa atau cottage yang terkelola dengan baik. Setingkat lebih menantang dari zona hijau kami menyebutnya zona kuning, lokasinya biasanya area outbound yang tidak menyediakan penginapan dan minim fasilitas serta jaraknya agak jauh dari basecamp atau fasilitas umum lainnya.

 

Untuk zona kuning ini kita perlu lebih cermat mengantisipasi segala persiapannya karena sedikit meleset saja akan menimbulkan kerepotan tersendiri. Tak jarang kami kehabisan energi dan terkuras emosi hanya gara-gara ketinggalan perlengkapan sepele namun sangat diperlukan seperti tali raffia misalkan, bisa anda bayangkan jika kita sudah berada ditengah kawasan yang jauh dari pemukiman apalagi pertokoan dan lupa tak bawa tali raffia? Rasanya saya bahkan rela menukarkan uang ratusan ribu hanya untuk segulung raffia.

 

Tak perlu saya cerita banyak bagaimana persiapannya jika kami harus masuk Zona Merah? Siapapun yang menjadi Project Directornya akan tiba-tiba menjadi lebih sangar dari seorang tentara ketika checking terakhir sebelum berangkat. Berulang kali penanggung jawab perlengkapan akan memastikan langsung apakah perlengkapan yang tertera di check-list sudah benar-benar terbawa. Bahkan kami para trainer tidak lupa terkena dampak dari ketatnya perencanaan ini. Biasanya kami boleh agak longgar untuk mempersiapkan materi hingga tiba di lokasi, akan tetapi jika lokasinya di zona merah maka jauh-jauh hari kami harus rela untuk bolak-balik dikonfirmasi tentang persiapan dan perlengkapan apa yang kami perlukan. Tentu masing-masing kami saling menyadari bahwa sedikit kesalahan saja berarti siap-siap dengan dampaknya yang besar, bahkan hingga perubahan format acara yang sangat dramatis.

 

 

Selain menyangkut antisipasi persiapannya, selama ini saya mengamati bahwa lokasi pilihan outbound juga sangat menentukan adrenalin kami selama menanti pemberangkatannya. Semangat dalam menunggu dan mempersiapkan outboundnya sangat berbeda. Jika lokasi outbound masih di sekitar Malang atau Batu apalagi di lokasi-lokasi yang sangat familiar, seringkali kami cenderung “meremehkan” persiapannya. Bahkan berangkat pagi-pagi meski outbound dimulai pukul delapan pagi pun tak terlalu menjadi persoalan bagi kami. Cukup kita kirimkan tim aju untuk suvei sekilas kemudian mereka turun lagi untuk pulang atau bermalam di kantor.

 

Sangat berbeda jika lokasinya di zona kuning atau merah, maka seolah haram hukumnya untuk kita berangkat pada hari-H meski acaranya baru dimulai siang harinya. Bahkan tidak jarang kami sudah berada di lokasi H minus 2 jika dirasa lokasi tujuan benar-benar baru dalam daftar

katalog lokasi outbound kami terutama jika waktu untuk survey, gladi bersih dan final preparation itu berada dalam saat yang sama atau berdekatan. Kami pernah berada di Barombong – Makassar selama hampir 5 hari padahal durasi training kami hanya 2 hari, selisih hari selebihnya kami gunakan untuk survey dan preparation. Entah mengapa semakin lokasi outbound itu menantang semakin bersemangat kami mempersiapkannya dan semakin detil kami mengantisipasinya, setiap saat kami hampir bisa dibilang semakin terobsesi dengan lokasi tujun itu.

 

 

Sahabat, anda percaya atau tidak sesungguhnya demikian pula impian atau tujuan akhir hidup yang kita tuju mempengaruhi adrenalin semangat hidup serta menentukan akan disibukkan oleh apa hidup kita. Semakin “menantang” impian kita maka semakin tinggi kadar adrenalin mengaliri darah perjuangan hidup ini dan tentu sehari-hari kita hanya akan disibukkan oleh aktifitas mengejar mimpi itu.

 

Sebaliknya bila mimpi kita biasa-biasa saja atau bahkan tak memiliki mimpi sama sekali, alih-alih bersemangat justru kita akan cenderung meremehkannya bahkan lebih parah lagi justru meremehkan diri sendiri, jadi sungguh ada hubungannya antara Self-esteem dengan Self-expectation.

 

Kita juga akan terjebak pada aktifitas yang sama sekali tak berhubungan dengan tahapan persiapan meraih mimpi itu atau setidaknya mudah tergoda untuk beralih aktifitas kepada yang lebih dapat memberikan kepuasan sesaat. Karena jika kita sedang tak melakukan sesuatu yang benar-benar menantang maka kita akan mencari aktifitas yang seolah menantang seperti permainan olah raga atau games.

 

Tentu anda menyadari itulah kenapa olah raga permainan seperti futsal lebih digemari daripada olah raga ketangkasan dan kekuatan seperti tolak peluru atau lari atletik. Akhirnya saya dapat benar-benar mengerti maksud dari kata-kata Pencetus aliran NLP terbarui yang disebut NAC (neuro-associative conditioning) sekaligus Motivator terkenal di Dunia, Anthony Robbin. “People are not lazy. They simply have impotent goals / that is, goals that do not inspire them.” Dalam bahasa saya, Anda bukannya malas, persoalannya hanyalah impian Anda yang tak mengilhami Anda untuk bergerak.

 

 

Tak perlulah saya mengulang betapa pentingnya impian itu, metafora terakhir yang ingin saya bagi jika Anda mengijinkan adalah tentang Gelang Karet, ya gelang karet yang sederhana dengan sarat makna. Coba Anda bayangkan gelang karet tergantung di jepitan antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri Anda, kemudian bayangkan jari telunjuk kanan Anda menarik sisi bawah gelang karet tersebut ke bawah. Anda dapat merasakan bahwa gelang karet itu semakin menegang, karena memang demikianlah faktanya. Semakin anda rentangkan lebih jauh maka semakin tinggi tegangan pada gelang karet tersebut.

 

Nah sahabat, jari telunjuk kanan Anda yang berada di bawah itu ibarat current state Anda saat ini dan jepitan kedua jari yang diatas adalah ibarat desire state Anda di masa yang akan datang. Sementara tegangan yang terjadi pada karet ibarat semangat atau motivasi yang timbul. Semakin tinggi Anda menarik titik impian Anda ke atas maka semakin tinggi tegangan atau motivasi yang timbul dan sebaliknya semakin rendah impian Anda maka semakin hilang motivasi Anda. Pun demikian impian seyogyanya dalam batas realistis kita agar tegangannya tetap dalam batas yang akan dapat menghindarkan putusnya gelang karet itu. Itulah mengapa di NLP kami diajarkan untuk menggunakan teknik SMART dalam menyempurnakan impian kami. Bolehlah kita bahas lain waktu untuk topik yang satu ini.

 

 

Beginilah biasanya saya menjawab pertanyaan remaja, pelajar dan mahasiswa, juga karyawan, guru dan para manajer mengenai bagaimana agar kita focus belajar, mengurangi kecanduan pada games dan permainan atau hilangnya gairah kerja dan disiplin pada SOP. Sungguh tak ada pelajar atau pekerja yang Malas, mereka sekedar tidak terhubung dengan impiannya di masa depan….

Dan bila kita sedikit lebih cermat sesungguhnya Islam telah mengajarkan akan kekuatan impian ini sejak dahulu.

Oleh Feri Dwi Sampurno  di PNBB – Proyek Nulis Buku Bareng

 

Ingat kisah ketika pada perang khandaq Rasulullah tercinta membelah batu? Saat para sahabat lainnya tak mampu membelah batu besar yang menghalangi pembuatan parit? Diriwayatkan pada saat batu besar itu berhasil dibelah oleh Rasulullah maka muncullah lambaian api seraya beliau bersabda bahwa telah melihat kunci-kunci kerajaan Parsi dan Romawi. Saat itu adalah hal yang sangat menantang bahkan hampir mendekati mustahil bagaimana bangsa kecil yang baru bangkit bermimpi untuk menaklukkan Bangsa Besar yang telah lama mengelola separuh dunia? Dan kekuatan impian yang Rasulullah suntikkan kepada kaum muslimin lantas menjadi banjir adrenalin kepada para sahabat hingga tabiin dan tokoh-tokoh Ummat Islam berikutnya.

 

Bahkan kekuatan impian itu mengalir hingga 8 abad lamanya ketika kemudian Konstantinopel dapat ditaklukkan pada 1453 Masehi. Impian bahkan dapat membuat kita mengabaikan bagaimana realita kita saat ini, karena memang menurut seorang penulis Buku International Best Seller, Paul Arden pada salah satu judul bukunya yang sangat saya suka “its not about how good you are, its about how good you want tobe”. Saya selalu meyakini kalimat ini sebagai kekuatan bagi saya untuk mengabaikan fakta dan realitas saya saat ini, karena tak peduli seberapa buruk dan terpuruknya diri kita saat ini, tidaklah terlalu penting. Yang terpenting adalah seberapa hebat diri kita dimasa yang akan datang. Sahabat, saatnya meneguhkan dan menyempurnakan impian. Anda siap? Ayo berangkat…….

Read Full Post »

 Oleh Moenir Al-Banny

Teringat kembali slogan SEA GAMES 2011 ke-26 yang diselenggarakan  di Indonesia. Rise and Unite artinya tanya guru bahasa inggrismu?(hahaha). artinya (maaf lo pak kalau salah) Bangkit dan Bersatu.

 

Dalam komunitas khususnya komunitas menulis, perlulah sesuatu atau seseorang yang bisa mengompori (baca:membangkitkan/rise) semangat kita. nah di grup menulis macam PNBB inilah kita bisa menemukan tukang masak alias tukang kompor menulis, baik yang sudah senior maupun yang masih junior pun saling mengompori sampai-sampai kadang dibutuhkan pemadam kebakaran untuk mengurangi api dari kompor yang terlalu panas(hehehe).

 

Suatu komunitas tak kan ada artinya kalau bisanya cuma omdo alias omong doang. sesuatu yang di omongkan diusahakan agar ada tindak lanjutnya. suatu komunitas menulis tentu saja tindak lanjut dari hal-hal yang di omongkan yang tidak jauh-jauh dari buku adalah menebitkan buku. Tanpa adanya kerjasama dan persatuan (baca:unite) tentu saja gak akan ada hasil yang di capai kecuali hanya omdo.

 

betapa pentingnya komunitas menulis terutama bagi saya khususnya yang ingin mengembangkan minat menjadi penulis.

Read Full Post »

Oleh:  Hafid Algristian

Sore itu tak bisa dibilang gerimis. Hujan setengah deras, cukup besar curahnya untuk membuat jaket dan celana saya basah. Saya yang mengkhawatirkan helm dan nasi bungkus segera lari ke arah motor. Sambil basah-basahan saya mencari, helm dan nasi bungkus saya tak ada!

 

Orang-orang juga begitu. Semua helm ngga ada. Barang-barang yang ada di cantolan motornya pun tidak ada. “Di sini, di sini!” Ada yang berteriak ke arah kami.

 

Oh, ternyata semua barang kami sudah diamankan. Alhamdulillah, saya tak perlu khawatir pulang seperti dua hari lalu, saat kepala saya gobyos karena helm kehujanan. Praktis saya flu, dan sekarang belum benar-benar fit.

 

“Thank you, Bro,”  seraya menepuk pundak anak itu, sekitaran usia SMP, yang memakai rompi parkir kotamadya. Dia mengangguk. Hujan mereda, namun dia masih menutupi badannya dengan plastik. Niatnya jadi jas hujan kali, ya.

 

Saya lihat dari kejauhan, dan agak terganggu dengan gerak-gerik anak tadi. Tiap kali orang mau pergi dari parkiran, selalu diteriaki, “Nasi, Nasi?” Dan setiap orang menggeleng. Dia jualan nasi? Di tengah hujan begini? Dengan jas hujan yang lebih tampak seperti tas kresek dibelah dua, dia berlarian mengejar orang-orang yang akan memacu motornya. Pekerjaan sambilan kali, ya? Sampai maksa jual nasi di tengah gerimis.

 

Dua jam berlalu, sepertinya Surabaya tengah saat ini harus hujan nanggung seperti dua hari lalu. Gerimis enggak, deras juga enggak. Nah, ini yang bikin motor jadi kecoklatan oleh genangan air.

 

Saya mencari-cari di mana tadi memarkir motor, lalu sebuah suara yang saya kenal memanggil saya, “Di sini, Dok?,”

 

“Oiya, sip sip. Eh, helmnya mana, ya?”

 

“Oh, ini. Silakan.”

 

“Yoi. Makasii, ya.”

 

Saya heran. Motor saya kok tidak basah, ya? Padahal tadi sempat gerimis. Begitu pula motor lain di sekitar saya. Si anak parkir tadi memiringkan motor sebelah, sehingga saya bisa keluar. Saat itulah saya melihat ada sebuah kain lusuh tergantung di saku belakangnya. Oh, saya menemukan jawaban mengapa motor saya tidak basah.

 

“Suwun lho, dilapi.”

 

“Ah, iya. Sama-sama, Dok,” katanya. “Dok, ketinggalan nasi?”

 

“Oiya,” ya ampun, saya lupa, “saya taruh mana, ya..”

 

“Sebentar, Dok..,” tak lama kemudian dia kembali, membawakan saya nasi bungkus. “Yang ini, Dok?”

 

“Oh, betul sekali. Hmm, tempe penyet iwak wader, lho. Mau, ta?”

 

“Wah, ngga usah, Dok. Sudah makan. Makasii.”

 

“Atau jangan-jangan, isinya sudah kalong? Hahaha..”

 

“Ah, Dokter bisa aja.”

 

Saya buka kreseknya, ternyata nasi saya masih dibungkus kresek lagi.

 

“Oh, maap, itu saya dobeli kreseknya, Dok. Biar gak kenampesan hujan.”

 

“Oiya, gak apa-apa. Makasii, ya.”

 

Deg!

Saya baru nyadar. Sepertinya dia tadi berlarian bukan karena jual nasi. Bukan karena menawarkan nasi ke orang-orang yang parkir di sini, tapi sedang menanyakan siapa yang merasa ketinggalan nasi.

 

Dia tanyai mereka satu-satu, di tengah gerimis, dan berusaha mengamankan nasi ini supaya tidak kehujanan dan tetap enak dimakan.

 

Gitu itu yaa.. masiiiiiiiiih saja saya guyoni, “..jangan-jangan isinya sudah kalong..”

 

Ah, hina sekali saya.

Si anak parkir ini lebih mulia perilakunya daripada saya. Anak ini, meski mungkin tidak lebih beruntung daripada anak lain yang menikmati sekolah, perilakunya lebih beradab ketimbang mereka yang mengenyam pendidikan tinggi.

 

Anak ini, meskipun hidup sulit, namun tetap berusaha menolong orang lain, berusaha bersikap yang terbaik dalam menjalankan pekerjaannya. Meski pekerjaan itu dianggap rendahan oleh orang lain. Saya jadi merasa tidak pantas menyandang jas putih ini.

 

Anak ini, meskipun nasibnya tidak lebih baik daripada anak lain yang seusianya, tetap berusaha berdiri, dan tidak memposisikan dirinya sebagai korban keadaan. Orang lain, bisa jadi teman-teman sebayanya, mungkin sudah mengeluh dan menyalahkan takdir karena tak berpihak padanya.

 

Namun tidak untuk anak ini. Dia tetap tegar, tegak berdiri, tersenyum tulus melayani, dan berusaha menjalani kehidupan ini dengan semaksimal yang dia bisa. Meskipun hanya menjadi tukang parkir, namun perilakunya lebih mulia dari siapapun.

 

Hanya sebungkus nasi.

Ya, hanya sebungkus nasi yang mungkin saja terlewat. Saya sebagai pemilik pun, ngga akan masalah kalau yang tertinggal cuma sebungkus nasi. Toh, saya bisa beli lagi.

 

Tapi baginya, sebungkus nasi layaknya emas berlian yang diperjuangkan bertahun-tahun. Sebungkus nasi adalah harta yang berarti baginya, yang bisa membuatnya bertahan hidup seminggu ke depan. Dan dalam seminggu itu, dia tak akan mengotori dirinya dengan harta yang haram.

 

Saya? Ya, masih melongo di atas motor, dan dengan gobloknya menaruh curiga kepadanya. Akhirnya saya paksa dia menerima nasi bungkus ini, dan menitipkan uang parkir yang lebih untuk dia berikan kepada dirinya sendiri atau keluarganya.

 

Ah, goblok sekali.

Saya menangis, haru dalam rinai gerimis.

… .

 

“Jika seseorang merasa terpanggil karena pekerjaannya, sebagai tukang sapu jalan raya, maka hendaknya dia menyapu sebaik Picasso melukis, seindah Beethoven mencipta lagu, dan semegah Shakespare dalam menggubah kata-kata. Karena dengan menyapu sebaik-baiknya itu, seluruh yang ada di langit dan bumi berdoa untuknya, meminta Tuhan menundukkan alam raya kepadanya.” (anonymous)

… .

 

*PR = pahala rombongan.

saya ngga tau asal muasal kenapa banyak juragan tinta di PNBB yang mengawali tulisannya dengan PR. jadinya, ya saya ikutan aja. berhubung sebelumnya ada postingan–lupa dari siapa–“niatkan karena syurga”, dan akhirnya saya terprovokasi,

maka “PR” di sini artinya adalah “pahala rombongan”.

https://www.facebook.com/algristianhafid

Read Full Post »

Oleh: Navwierqz Part X

Setiap profesi yang kita lakukan pasti ada yang namanya hambatan . entah itu hambatan yang mudah di lalui hingga hambatan yang bisa bikin stress , mual mual , kejang kejang ,diare dan bahkan bisa bunuh diri . . . astagfirullahaladzim .

Begitu juga dengan profesi dunia kecil kita , menulis . banyak penulis , khususnya yang masih amatir seperti saya ini mengalami hambatan hambatan tersebut . mungkin karena kurangnya pengalaman dalam mengatasinya . hambatan sering kali muncul disaat kita benar benar telah menemukan ide . entah itu tidak ada pena , kertas, hp . pas lagi asyik asyiknya bekerja , di saat sedang berbincang dengan orang , dan bahkan yang lain lagi . memang sesuatu yang bernama ide ini pantas di beri gelar JELANGKUNG . datang tak di undang dan pergi seenaknya .

Trus, bagaimana dunk ?? oke , saya akan mencoba memberi saran bagaimana mengatasi hambatan yang seperti itu .

Jika kita berada pada posisi yang tidak tepat , misalnya seperti yang saya sebutkan di atas dan tiba tiba si ide itu dating . otomatis kan kita tidak dapat menuangkan ke dalam coretan yang indah bukan ?? terus bagaimana agar si ide ini tidak kabur . .?

Langkah pertama yang harus di lakukan adalah ucapkan salam “ Assalamualaikum , ide . . “ hehe . . mungkin dengan ini si ide akan merasa sungkan untuk pergi seenaknya.

Nah kemudian , buatlah kesepakatan dengan ide tersebut . misalnya : Ide tersebut harus direalisasikan dalam bentuk coretan dalam jangka waktu 7 jam (tergantung sikon ). Nah apabila tidak dapat melaksanakan kesepakatan tersebut maka harus di hukum . contohnya push up 100 kali . hehe . .mampus gak tuh . .

Namun bila sukses melakukan kesepakatan tersebut . maka harus di beri hadiah , misal bakso 3 mangkok . kan enak tuh . . hihi . mendingan bakso 3 mangkok kan daripada push up 100 kali . hayyoow . .

Jadi intinya , hukumlah diri kita saat diri kita gagal dan berilah apresiasi yang special disaat kita berhasil merealisasikan sebuah tulisan . mungkin dengan begitu kita akan lebih semangat kedepanya .

Ayo kita buat dunia kecil kita lebih berwarna. . . . .

Read Full Post »

Oleh Naz Nifa

“Tau nda apa yang sedang Allah rekayasa ketika Ia menakdirkan Muhammad menjadi penggembala?”

Tanya seorang pria setengah baya 5 tahun lalu di sebuah rumah makan fried chicken terkenal di kota Banjarbaru, AZ namanya. Mendengar pertanyaannya aku hanya tersenyum, sebagai tanda Aku tidak punya jawaban yang kuanggap tepat.

“Karena Allah ingin menjadikan dia seorang pemimpin besar” ia menjawab sendiri pertanyaannya, seolah tau kalau Aku memang tidak punya jawaban.

“suksesnya seseorang mengembala bisa menjadi indikasi bahwa suatu saat ia akan sukses memimpin manusia” ia melanjutkan penjelasannya, Aku masih diam, menyimak sekaligus berfikir apa hubungan pengembala dan seorang pemimpin. Karena dari strata social kelasnya justru jauh berbeda. Melihat alisku yang berkerut, lelaki setengah baya itu tersenyum

“menggembala bukanlah hal yang mudah. Karena kita harus mengendalikan hewan yang tingkat intelektualitasnya sangat jauuuuh dibawah manusia. Ia harus mengendalikan ternaknya agar lebih beradab dan tidak merugikan orang lain, tidak merusak dan makan tanaman orang”. Katanya panjang lebar.

“terus tau nda mengapa Allah menakdirkan Muhammad menjadi orang yang buta huruf sebelum ia menerima wahyu?” sambil menghirup juice watermelon yang ia pesan, ia kembali bertanya.

“karena Allah ingin manusia meyakini tentang kemurnian Alqur’an sebagai firman Tuhan” jawabku, yang kemudian disambutnya dengan senyum.

“dulu Bapak sering berfikir, jika saja Allah tidak membutuhkan rasionalisasi itu untuk menjelaskan kebenaran Alqur’an sesuai logika manusia, Bapak yakin untuk mengendalikan pola fikir manusia Dia akan menjadikan Muhammad sebagai penulis sejak kecil dan itulah alasan mengapa saya memilih profesi ini” katanya mantap

Ya, selain seorang konsultan kehumasan, Bapak ini sangat suka menulis. Aku mengenalnya setelah beberapa kali share via telfon ketika aku menjabat sebagai koordinator departemen komunikasi dan opini KAMMI daerah kalsel. Hari itu secara tidak sengaja kami bertemu disebuah seminar kehumasan yang mengundangnya sebagai pembicara.

“coba fikirkan anggap saja ada 100.000 penduduk Banjarbaru. Ketika tulisan kalian masuk Koran dan dibaca minimal oleh 0,001 persennya. Kemudian paradigm mereka membaik karena pencerahan dari ide yang kalian tuliskan. Bukankah itu amal jariah yang luar biasa? Apalagi kalau sampai banyak yang baca.

“ setelah memberi jeda ia kembali melanjutkan “mengharapkan balasan dari sebuah kebaikan bukanlah hal yang dilarang.. jika banyak orang yang menulis karena uang, maka menulislah karena syurga, niatkan lillahita’ala. Karena ketika menulis hal-hal baik dan bermanfaat, sebenarnya disaat yang sama kita sedang menabung pahala untuk menebus syurgaNya Allah” katanya.

“belum lagi jika berfikir pada proses perbaikan ummat. Munculnya agama ini karena munculnya ummat. Sejarah membuktikan ummat manapun yang jauh dari budaya menulis dan membaca akan menjadi ummat yang tertinggal dan terkebelakang. Bukankah kebaikan ataupun pengetahuan harusnya dibagi? Bukan disimpan sendiri”

mendengar apa yang ia katakan, Aku mengangguk, tanda setuju.Semenjak pembicaraan itu, motivasiku untuk menyampaikan ide dari tiap pengalaman menjadi semakin besar, terlebih setelah kutemui sebuah kata mutiara yang berbunyi ‘jika kau bukan anak seorang raja ataupun seorang ulama besar, maka jadilah seorang penulis. Karena dunia ini tidak bermula dari apapun kecuali dari aksara’.

Begitu banyak ilmu pengetahuan yang bisa kita gali saat ini, salahsatunya karena ada mereka yang bersikeras menyisihkan waktunya untuk menulis, mengabadikan tiap pengalaman, tiap teori dan pelajaran, tiap pengetahuan dan tiap perjalanan.sejak saat itu Aku menggilai menulis, meskipun lebih banyak moody-nya atau terpaksa karena dikejar deadline. Tapi setidaknya setiap kali mengingatnya, aku selalu menyimpan komitmen bahwa suatu saat aku berharap bisa menuliskan banyak informasi dan pengalaman berharga.

And the last…Aisyah r.a berkata ‘ajari anak2 puisi sejak dini’.

Umar Bin Khattab berkata “ajarkanlah sastra pada anak2mu, agar anak yang pengecut jadi pemberani”.

Buya Hamka berkata “sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra” Aku berkata “menulislah (apa saja) agar kau dapat mengenali dirimu sendiri”

Mari menulis, mari merayakan keabadian!!!

Berau, 03122011

Read Full Post »

TULISKAN apa yang ada di dalam pikiran, BUKAN memikirkan apa yang dituliskan. [Ersis Warmansyah Abbas  a.k.a EWA]

Read Full Post »

Older Posts »