Oleh: Hafid Algristian
Sore itu tak bisa dibilang gerimis. Hujan setengah deras, cukup besar curahnya untuk membuat jaket dan celana saya basah. Saya yang mengkhawatirkan helm dan nasi bungkus segera lari ke arah motor. Sambil basah-basahan saya mencari, helm dan nasi bungkus saya tak ada!
Orang-orang juga begitu. Semua helm ngga ada. Barang-barang yang ada di cantolan motornya pun tidak ada. “Di sini, di sini!” Ada yang berteriak ke arah kami.
Oh, ternyata semua barang kami sudah diamankan. Alhamdulillah, saya tak perlu khawatir pulang seperti dua hari lalu, saat kepala saya gobyos karena helm kehujanan. Praktis saya flu, dan sekarang belum benar-benar fit.
“Thank you, Bro,” seraya menepuk pundak anak itu, sekitaran usia SMP, yang memakai rompi parkir kotamadya. Dia mengangguk. Hujan mereda, namun dia masih menutupi badannya dengan plastik. Niatnya jadi jas hujan kali, ya.
Saya lihat dari kejauhan, dan agak terganggu dengan gerak-gerik anak tadi. Tiap kali orang mau pergi dari parkiran, selalu diteriaki, “Nasi, Nasi?” Dan setiap orang menggeleng. Dia jualan nasi? Di tengah hujan begini? Dengan jas hujan yang lebih tampak seperti tas kresek dibelah dua, dia berlarian mengejar orang-orang yang akan memacu motornya. Pekerjaan sambilan kali, ya? Sampai maksa jual nasi di tengah gerimis.
Dua jam berlalu, sepertinya Surabaya tengah saat ini harus hujan nanggung seperti dua hari lalu. Gerimis enggak, deras juga enggak. Nah, ini yang bikin motor jadi kecoklatan oleh genangan air.
Saya mencari-cari di mana tadi memarkir motor, lalu sebuah suara yang saya kenal memanggil saya, “Di sini, Dok?,”
“Oiya, sip sip. Eh, helmnya mana, ya?”
“Oh, ini. Silakan.”
“Yoi. Makasii, ya.”
Saya heran. Motor saya kok tidak basah, ya? Padahal tadi sempat gerimis. Begitu pula motor lain di sekitar saya. Si anak parkir tadi memiringkan motor sebelah, sehingga saya bisa keluar. Saat itulah saya melihat ada sebuah kain lusuh tergantung di saku belakangnya. Oh, saya menemukan jawaban mengapa motor saya tidak basah.
“Suwun lho, dilapi.”
“Ah, iya. Sama-sama, Dok,” katanya. “Dok, ketinggalan nasi?”
“Oiya,” ya ampun, saya lupa, “saya taruh mana, ya..”
“Sebentar, Dok..,” tak lama kemudian dia kembali, membawakan saya nasi bungkus. “Yang ini, Dok?”
“Oh, betul sekali. Hmm, tempe penyet iwak wader, lho. Mau, ta?”
“Wah, ngga usah, Dok. Sudah makan. Makasii.”
“Atau jangan-jangan, isinya sudah kalong? Hahaha..”
“Ah, Dokter bisa aja.”
Saya buka kreseknya, ternyata nasi saya masih dibungkus kresek lagi.
“Oh, maap, itu saya dobeli kreseknya, Dok. Biar gak kenampesan hujan.”
“Oiya, gak apa-apa. Makasii, ya.”
Deg!
Saya baru nyadar. Sepertinya dia tadi berlarian bukan karena jual nasi. Bukan karena menawarkan nasi ke orang-orang yang parkir di sini, tapi sedang menanyakan siapa yang merasa ketinggalan nasi.
Dia tanyai mereka satu-satu, di tengah gerimis, dan berusaha mengamankan nasi ini supaya tidak kehujanan dan tetap enak dimakan.
Gitu itu yaa.. masiiiiiiiiih saja saya guyoni, “..jangan-jangan isinya sudah kalong..”
Ah, hina sekali saya.
Si anak parkir ini lebih mulia perilakunya daripada saya. Anak ini, meski mungkin tidak lebih beruntung daripada anak lain yang menikmati sekolah, perilakunya lebih beradab ketimbang mereka yang mengenyam pendidikan tinggi.
Anak ini, meskipun hidup sulit, namun tetap berusaha menolong orang lain, berusaha bersikap yang terbaik dalam menjalankan pekerjaannya. Meski pekerjaan itu dianggap rendahan oleh orang lain. Saya jadi merasa tidak pantas menyandang jas putih ini.
Anak ini, meskipun nasibnya tidak lebih baik daripada anak lain yang seusianya, tetap berusaha berdiri, dan tidak memposisikan dirinya sebagai korban keadaan. Orang lain, bisa jadi teman-teman sebayanya, mungkin sudah mengeluh dan menyalahkan takdir karena tak berpihak padanya.
Namun tidak untuk anak ini. Dia tetap tegar, tegak berdiri, tersenyum tulus melayani, dan berusaha menjalani kehidupan ini dengan semaksimal yang dia bisa. Meskipun hanya menjadi tukang parkir, namun perilakunya lebih mulia dari siapapun.
Hanya sebungkus nasi.
Ya, hanya sebungkus nasi yang mungkin saja terlewat. Saya sebagai pemilik pun, ngga akan masalah kalau yang tertinggal cuma sebungkus nasi. Toh, saya bisa beli lagi.
Tapi baginya, sebungkus nasi layaknya emas berlian yang diperjuangkan bertahun-tahun. Sebungkus nasi adalah harta yang berarti baginya, yang bisa membuatnya bertahan hidup seminggu ke depan. Dan dalam seminggu itu, dia tak akan mengotori dirinya dengan harta yang haram.
Saya? Ya, masih melongo di atas motor, dan dengan gobloknya menaruh curiga kepadanya. Akhirnya saya paksa dia menerima nasi bungkus ini, dan menitipkan uang parkir yang lebih untuk dia berikan kepada dirinya sendiri atau keluarganya.
Ah, goblok sekali.
Saya menangis, haru dalam rinai gerimis.
… .
“Jika seseorang merasa terpanggil karena pekerjaannya, sebagai tukang sapu jalan raya, maka hendaknya dia menyapu sebaik Picasso melukis, seindah Beethoven mencipta lagu, dan semegah Shakespare dalam menggubah kata-kata. Karena dengan menyapu sebaik-baiknya itu, seluruh yang ada di langit dan bumi berdoa untuknya, meminta Tuhan menundukkan alam raya kepadanya.” (anonymous)
… .
*PR = pahala rombongan.
saya ngga tau asal muasal kenapa banyak juragan tinta di PNBB yang mengawali tulisannya dengan PR. jadinya, ya saya ikutan aja. berhubung sebelumnya ada postingan–lupa dari siapa–“niatkan karena syurga”, dan akhirnya saya terprovokasi,
maka “PR” di sini artinya adalah “pahala rombongan”.